Seorang wanita miskin tua didakwa mencuri sepotong roti. Wanita itu menerangkan anaknya sakita keras, cucunya kelaparan, dan suaminya sudah pergi meninggalkan mereka, sehingga ia terpaksa mencuri sepotong roti dari sebuah toko roti. Alasan itu tidak dapat diterima pemilik toko roti.
Sang hakim sebenarnya tidak ingin untuk memberikan hukuman kepada wanita itu, tetapi sebagai hakim, diapun tidak mungkin mengabaikan seluruh ketentuan hukum yang ada. Sang hakim memutuskan: (1) menyatakan si wanita itu terbukti mencuri roti, dan karena adanya alasan meringankan wanita itu hanya dipidana denda sebesar sepuluh dolar, dan jika tidak mampu membayar denda yang dijatuhkan, maka wanita itu akanj dikirim ke penjara selama 10 hari. 2) tetapi putusan tersebut dibacakan oleh sang hakim sambil mencopot topi toganya dan merogoh sakunya sendiri dan memasukkan uang sepuluh dolar ke dalam topinya, dan kemudian menegaskan bahwa selain wanita itu, maka sang hakim juga mendenda sebesar lima puluh sen dolar kepada setiap pengunjung persidangan, termasuk pemilik toko roti, karena mereka semua tinggal dan hidup di kota dimana seorang wanita tua harus mencuri roti untuk menyelamatkan anak dan cucunya yang kelaparan.
Sang hakim memerintahkan panitera mengumpulkan semua denda itu ke dalam topi toganya yang sudah lebih dulu sang hakim isi dengan uang pribadinya sebersar sepuluh dolar. Wanita tua itu akhirnya meninggalkan persidangan dan kembali ke rumahnya, setelah membayar denda sepuluh dolar dari uang sumbangan sang hakim kepadanya, dan si wanita tua tersebut masih membawa sejumlah uang hasil pengumpulan denda dari puluhan orang yang hadir di dalam persidangan, yang jumlahnya lumayan untuk menghidupi anak dan cucunya selama beberapa waktu.
Sungguh tepatlah ketika Plato mengatakan: ”No law or ordinance is mightier than understanding”, yang kira-kira berarti ”Tidak ada hukum atau aturan, yang lebih hebat dibandingkan dengan pemahaman”. Atau seperti yang dikemukakan oleh Louis D Brandeis, Hakim Agung AS, “If we desire respect for the law we must first make the law respectable”, yang berarti “Jika kita menginginkan agar hukum dapat dihormati, maka terlebih dahulu kita harus membuat hukum yang dapat dihormati”.
Kita sangat setuju bahwa sudah saatnya kain hitam yang selalu menutupi mata ”Patung Dewi Keadilan Indonesia” dibuka, sehingga tidak hanya terpaku pada setumpuk pasal-pasal yang terdapat pada undang-udang yang cenderung kaku, bahkan sebagian isinya sudah sangat ketinggalan zaman karena merupakan produk tiga abad silam yang masih tetap dipertahankan, produk paradigma dari barat, padahal bangsa Indonesia adalah bangsa timur yang memiliki nilai-nilai luhur sendiri yang lebih baik dan manusiawi.
Sudah saatnya penutup mata Patung Dewi Keadilan Indonesia dibuka, sehingga para pelaku hukum dapat melihat hukum sebagai suatu realitas, suatu tindakan, suatu perilaku, dan bukan hanya sekedar asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan.
Salah seorang pakar hukum, Lon F Fuller, mengatakan: ”I have insisted that law be viewed as a purposeful enterprise, dependent for its success on the energy, insight, intelegence, and concientiousness of those who conduct it”. (Secara tegas saya melihat hukum sebagai suatu upaya dengan maksud tertentu, yang keberhasilannya tergantung pada energi, wawasan, kecerdasan, dan kesadaran tentang siapa yang menjalannya).
No comments:
Post a Comment