Sunday, August 9, 2009

Paradigma Utang Luar Negeri

Babak suka cita kembali mengiringi perekonomian Indonesia dalam kaitannya dengan utang luar negeri. Pada sidang ADB di Bali beberapa bulan kemarin, lembaga keuangan tersebut setuju untuk memberikan pinjaman (utang!!) kepada Indonesia guna pembiayaan proyek dan berbagai program pemerintah dengan nilai antara US$ 1,5 miliar - US$ 2 miliar. Dana tersebut (katanya) diharapkan dapat digunakan sebagai pembiayaan program untuk mengatasi dampak krisis keuangan global di Indonesia, dan proyek pembangunan infrastruktur (katanya!!).
Hal inilah yang perlu untuk kita kritisi sebab ternyata pemerintah Indonesia belum "percaya diri" untuk membangun negeri kita ini tanpa utang. Dari sejarah utang-utang yang lalu, utang tersebut tidak sesuai dengan peruntukan, lebih banyak terjadi penyimpangan di dalamnya. Jadi utang yang ada hanya menjadi rebutan para tikus-tikus pemerintahan untuk memperkaya diri mereka sendiri.
Sebagai salah satu sumber dana pembiayaan APBN, utang luar negeri selama ini memiliki peranan penting dalam pertumbuhan usaha perbankan dan perekonomian sosial. Namun demikian, arus dana pinjaman yang terlalu besar dan tidak terpelihara baik hanya berakibat buruk bagi perekonomian Indonesia, sebab hanya menumbuhkan dengan pesat korupsi di jajaran pemerintahan.
Efek positif utang luar negeri hanya bisa terjadi jika jalur yang dilalui adalah lewat mekanisme belanja pemerintah yang memihak kepentingan publik, misalnya dalam wujud pengeluaran anggaran pendidikan. Secara teori, utang luar negeri hanya akan bekerja dengan baik di negara yang demokratis sebab pemanfaatan utang luar negeri akan dikontrol secara penuh oleh masyarakat sehingga setiap ada penyimpangan bisa segera diketahui. Celakanya, sistem demokrasi di negara kita tidak kuasa mengawal aliran dana utang tersebut, yang sering kali lari ke proyek-proyek yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat.
Dari data yang ada, ternyata kesejahteraan rakyat pun masih jauh di ujung lorong. Bila pada 2005 total utang kita masih RP. 1.286 triliun, pada tahun berikutnya, 2006, total utang melonjak menjadi Rp. 1.310 triliun. Pada tahun 2008, total utang kita telah mencapai Rp. 1.623 triliun. Ironisnya, data Gini Index (koefisien pemerataan kesejahteraan) dari 2004 sampai 2007 semakin membesar, yang berarti ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin semakin melebar. Kita tidak tahu tahun ini berapa besar kenaikan dari utang luar negeri, yang sudah pasti bahwa kenaikan itu sepenuhnya tidak dinikmati oleh rakyat kecil, hanya menjadi santapan bagi para 'penguasa' senayan.
Kita hanya harapkan, agenda lanjutan dari pemanfaatan utang luar negeri harus benar-benar menjadi donor bagi kesejahteraan masyarakat. Sudah sewajarnya bila 'derma' asing di Indonesia dikritisi kembali agar kita tidak terjebak dalam rantai utang luar negeri yang malah akan menghadirkan kemiskinan yang tidak berujung. Faktanya, sampai hari ini, dengan derasnya pinjaman dari luar negeri yang kita terima, tetapi jejak kemiskinan masih tetap tercatak tebal di tanah Indonesia.

No comments:

Post a Comment